Sistem kenagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau.Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.
Terdapat dua aliran besar dalam sistim pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Nagari merupakan unit pemukiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemukiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Dalam laporannya de Stuers menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, kemudian Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang kemudian dikenal dengan adanya jabatan kepala laras atau tuanku laras, dimana daerah kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah ada sebelumnya. Dan selanjutnya satuan pemerintahan lebih rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa perubahan sampai pada tahun 1914.
Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, dimana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya. Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatra Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai.
Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan kemudian ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Kemudian pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir keseluruhan aparat nagari diganti oleh pemerintah pusat yang sekaligus merubah pemerintahan nagari.
Nagari Sambungo
Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.
Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama.
Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai bagian dari pemerintahan daerah.
Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Berbeda dengan sistem pemerintahan desa yang berasal dari Jawa dan cenderung feodalistis, sentralis-vertikal-topdown, sistem peme¬rintahan nagari di Minangkabau bercirikan egaliter, mandiri, dan lebih ber¬orientasi ke masyarakat (kerakyatan). Oleh sebab itu, ketika bergulirnya reformasi antaralain di¬tandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang lazim dikenal sebagai undang-undang otonomi daerah, rakyat Sumatera Barat dengan penuh antusias men¬canangkan “kembali ke sistem pemerin¬tahan nagari”.
Pencanangan “kembali ke sistem pemerin¬tahan na¬gari” dikukuh¬kan dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pe¬me¬rintahan Nagari, dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perda no 9 tahun 2000 tersebut, kemudian diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari. Sebagai tindak-lanjutnya, hampir semua Daerah Kabupaten/ Kota di Propinsi Su¬matera Barat telah pula mener¬bit¬kan Perda yang mengatur secara lebih rinci hal-ihwal Pemerintahan Nagari di kabupaten/ kota masing-masing.
Dengan diberlakukannya undang-undang pemerintah daerah maka di Sumatera Barat sampai sekarang menjalankan sistem kenagarian pada tingkat terendah pemerintahan. Pencanangan kembali ke sistem pemerintahan nagari, yang secara bersamaan juga diikuti oleh semangat kembali ke adat dan ke surau, mencerminkan adanya kemauan politik (political will) yang kuat untuk mem-berdayakan kembali nagari sebagai “republik-republik kecil” yang sifatnya self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Langkah ini diyakini akan mampu memper¬cepat terwujudnya masyarakat nagari yang adil dan mak¬mur (sejahtera), berdasarkan prinsip-prinsip demok¬rasi yang berakar pada tradisi budaya dan adat istiadat setem¬pat (adat salingka nagari). Per¬soalannya ialah, seberapa jauh harapan tersebut mampu diwujudkan dalam kenyataan.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 17 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.
Selanjutnya dilakukan pemilihan dan pembentukan lembaga Nagari yang merupakan mitra kerja Pemerintahan Nagari dalam menindaklanjuti program Pembangunan di Nagari seperti Badan Permusyawaratan Nagari (BAMUS) dan pemilihan Wali Nagari Definitif. Berkat kebersamaan dan jiwa kembali ke Nagari yang kuat melalui panitia pemilihan, terpilih 5 orang anggota Bamus Nagari yang terdiri dari unsur unsur Ninik Mamak, Alim Ulama, Tokoh Masyarakat/ Cadiak Pandai, Bundo Kandung dan Pemuda.
Dengan terbentuknya Bamus Nagari, proses pemilihan Wali Nagari, setelah melalui proses penyaringan, seleksi administrasi, penyampaian visi dan misi serta pemilihan langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan pada hari selasa 27 desember 2011. Pemilihan ini merupakan Pemilihan Wali Nagari (Pilwana) yang pertama pasca pemekaran Nagari Silaut. Wali Nagari yang terpilih adalah Sutoyo. Pelantikan Wali Nagari Sambungo Definitif dilaksanakan pada hari rabu 25 Januari 2012.
Sesuai peraturan yang berlaku, bahwa Pemerintah Nagari harus didukung oleh Lembaga-lembaga kemasyarakatan di tingkat Nagari, sehingga Pemerintah Nagari Sambungo juga membentuk lembaga lembaga pendukung tersebut seperti PKK (Peningkatan Kesejahteraan Keluarga), LPMN (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari), BKM (Bundo Kanduang Maimbau), BKMT (Badan Kontak Majelis Taqlim), MUIN (Majelis Ulama Indonesia Nagari), Pemuda Nagari, Karang Taruna Nagari serta lembaga mitra lainnya yang berada di Nagari Sambungo. Lembaga inilah nantinya yang akan menjadi penjabar tugas tugas dan kewenangan yang telah diatur oleh Pemerintah yang lebih tinggi dengan tanggungjawab kegiatan bersama Wali Nagari.
Kemudian pada tahun 2011, keluar Peraturan Bupati No. 38 Tahun 2011 tentang Pemekaran Pemerintahan Nagari dan Kampung di Kabupaten Pesisir Selatan. Nagari Sambungo, termasuk salah satu Nagari hasil pemekaran dari Nagari Silaut.
Demikian selanyang pandang atau sejarah singkat Nagari Sambungo yang dapat kami sampaikan kepada para pegiat Medsos, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua, terima kasih :)